PERKEMBANGAN
SISTEM POLITIK INDONESIA
- 1. Era Demokrasi Parlementer
Pada tahun
1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi
parlementer. Demokrasi parlementer mulai berlangsung sejak 3 November 1945,
yaitu sejak sistem multi-partai berlaku melalui Maklumat Pemerintah tanggal 3
November 1945 dikemukakan bahwa: “Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai
politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang
teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Diharapkan bahwa
partai-partai telah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan umum pada bulan
Januari 1946”. Dalam masa ini partai-partai politik memiliki peranan penting
dalam proses pembuatan keputusan. Wakil-wakil yang duduk dalam KNIP, dan
orang-orang yang duduk dalam kabinet kebanyakan adalah wakil partai (Miriam
Budiardjo, 2008: 427-430).
Dalam masa
ini kabinet menghadapi bermacam-macam tantangan baik dari luar maupun dari
dalam, misalnya dua Aksi Militer Belanda pada tahun 1947 dan 1948, dan
pemberontakan PKI pada tahun 1948. Partai-partai tidak selalu sepakat mengenai
strategi perjuangan untuk menghadapi pihak Sekutu, termasuk perundingan dengan
Belanda, dan masalah-masalah lain. Setiap kali kabinet jatuh, komposisi partai
dalam kabinet koalisi pun berubah.
Sehingga
sistem multi-partai ini lebih menampakkan sifat ketidakstabilitas politik
setelah berlaku sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama,
Konstitusi RIS, dan UUDS 1950 (Rusadi Kantaprawira, 2006: 188). Ketidakstabilan
politik terjadi karena tidak adanya partai dengan mayoritas yang jelas (Masyumi
dan PNI kira-kira sama kuatnya) menyebabkan pemerintah harus selalu berdasarkan
koalisi antara partai besar dengan partai-partai kecil. Koalisi-koalisi ini
ternyata tidak langgeng dan pemerintah rata-rata hanya bertahan selama
kira-kira satu tahun. Dengan demikian, tidak ada satu kabinet pun yang berhasil
melaksanakan program yang telah dicanangkan.
Pada tahun
1950-1959 ialah era dimana presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, dimana periode ini
berlangsung dari 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959. Akibat pelaksanaan
konstitusi UUDS 1950, pemerintahan RI dijalankan oleh suatu dewan menteri
(kabinet) yang dipimpin oleh seorang perdana menteri dan bertanggung jawab
kepada parlemen (DPR) sehingga Presiden hanya sebagai lambang saja.
Selama kurun
waktu 1950-1959 sering kali terjadi pergantian kabinet yang menyebabkan
ketidakstabilan politik (Miriam Budiardjo, 2008: 436). Dalam keadaan seperti
ini sikap-sikap partai politik tidak selalu konsisten, adakalanya menteri dari
partai oposis menarik kembali menterinya, dan adakalanya tidak menarik kembali
dengan dalil kedudukan menteri dalam kabinet bersifat pribadi. Sehingga hal ini
menyebabkan parlemen mudah mengeluarkan mosi tidak percaya terhadap kabinet
sehingga koalisi partai yang ada di kabinet menarik diri dan kabinet pun jatuh.
Sementara Sukarno selaku Presiden tidak memiliki kekuasaan secara riil kecuali
menunjuk para formatur untuk membentuk kabinet-kabinet baru, suatu tugas yang
sering kali melibatkan negosiasi-negosiasi yang rumit.
Dalam
pelaksanaan Demokrasi Parlementer di Indonesia dianggap gagal dalam mengemban
aspirasi rakyat. Demokrasi Liberal, khususnya sistem parlementer dianggap tidak
cocok untuk bangsa Indonesia karena tidak sesuai dengan tradisi dan kepribadian
bangsa Indonesia Demokrasi liberal seringkali dikonotasikan negatif dan
berbau barat yang bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Selain itu,
Demokrasi Liberal juga dikecam sebagai demokrasi yang bermotifkan individualisme,
hak, kepentingan, dan kebebasan individu, dan tidak mengutamankan kepentingan
bersama sesuai dengan Ekonomi Kerakyatan yang ingin dikembangkan oleh Presiden
Soekarno pada saat itu (J. Soedjati Djiwandono dan T. A. Legowo, 1996: 18).
Struktur dan
Fungsi Sistem Politik Era Demokrasi Parlementer
Dalam
periode demokrasi parlementer ini ada beberapa hal yang secara pasti dapat
dikatakan telah melekat dan mewarnai prosesnya, yaitu sebagai berikut:
Dilihat dari
pendekatan struktural-fungsional, pada era Demokrasi Parlementer infrastruktur
politik lebih dominan dalam sistem politiknya dibandingkan dengan
suprastrukturnya. Bung karno hanya bertindak sebagai presiden konstitusional
tanpa kekuasaan eksekutif (J. Soedjati Djiwandono dan T. A. Legowo, 1996: 18).
Selain itu,
pada birokrasinya karena pengaruh Demokrasi Barat yang lebih dominan, maka
partisipasi militer dalam arena politik tidak terlalu kentara. Justru kalangan
sipillah yang menonjol (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Salah satu
indikatornya ialah: jabatan Menteri Pertahanan yang selalu dipegang oleh tokoh
sipil.
Dalam
periode ini pula, militer yang mempunyai kepangkatan tertentu tidak
diperbolehkan duduk dalam DPR melalui pemilihan umum. Tetapi partisipasi
militer reguler tidak dibedakan dengan partisipasi kelompok sipil, misalnya
dalam hal hak pilih aktif dalam pemilihan umum. Hanya beberapa kasus tertentu
saja a.l. peristiwa 17 Oktober 1952, yang menyebabkan meningkatnya usaha
militer untuk berpartisipasi aktif, dan beberapa tahun kemudian, menjelang
pemilihan umum 1955, tumbuh partai politik yang pimpinannya terdiri atas
eksponen militer. Tetapi ikatan korps antara purnawirawan dengan tentara
reguler belum menunjukkan keeratan seperti sekarang (Rusadi Kantaprawira, 2006:
191).
Kemudian
pada infrstruktur politik, karena menganut sistem multipartai, banyak
partai-partai politik yang bermunculan. Partai-partai politik tersebut lebih
didominasi oleh orientasi ideologi mereka masing-masing yang seringkali tidak
selalu sejalan dengan ideologi Pancasila. Selain itu, banyaknya partai dalam
parlemen yang saling berbeda pendapat karena masing-masing partai politik
selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Hak akan kebebasan yang dijamin oleh demokrasi disalahgunakan secara berlebihan
untuk kepentingan pribadi dan golongan daripada untuk kepentingan umum.
Sehingga, hal tersebut menimbulkan konflik antar partai politik yang mengganggu
stabilitas nasional dan menggangu kehidupan politik serta persatuan bangsa dan
negara terancam perpecahan.
Penyaluran
tuntutan oleh infrastruktur politik terhadap suprastruktur politik terlihat
sangat intens namun melebihi kapasitas sistem yang ada. Karena tuntutan (demands)
frekuensinya maupun volumenya tinggi, terutama kapasitas atau kemampuan mesin
politik resmi. Melalui sistem multi-partai yang berkelebihan (superflous),
penyaluran input sangat besar, namun kesiapan kelembagaan belum seimbang untuk
menampungnya. Timbullah krisis akibat meningkatnya partisipasi dalam wujud
labilitas pemerintahan/politik. Hal ini terjadi karena pemerintahan yang masih
labil, mengingat kemerdekaan yang baru diperoleh. Selain itu, selektor dan
penyaring aneka tuntutan kurang efektif berfungsi, karena ‘gatekeeper’
(elit politik) belum mempunyai konsensus untuk bekerja sama, atau pola kerja
sama belum cukup tersedia (Rusadi Kantaprawira, 2006: 189).
Semua
kapabilitas sistem yang dimiliki pada era Demokrasi masih lemah. Pada
kapabilitas ekstraktif yang berupa kekayaan alam dan manusia Indonesia masih
potensial sifatnya dan belum didayagunakan secara maksimal (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 189). Pada kapabilitas distributif juga masih lemah.
Walaupun beberapa kabinet sudah berinisiatif untuk mengelola potensi-potensi,
baik alam maupun manusia Indonesia, namun sikap mereka lebih didasari sifat
pragmatis, sehingga distribusi pun tidak bisa disalurkan secara merata.
Dalam
kapabilitas simbolik, kabinet-kabinet yang memiliki orientasi tersendiri
seperti yang berorientasi pragmatis maupun ideologis, masing-masing menonjolkan
konsep-konsep mereka terhadap masyarakat. Konsep kemakmuran lebih kentara dalam
kabinet yang pragmatis, sedangkan konsep menuju keadilan mendapat perhatian
kabinet yang ideologis. Sedangkan pada kapabilitas responsif, seperti yang
telah disebutkan di atas, penyaluran input yang sangat besar menyebabkan
kelembagaan kewalahan menanggapinya karena belum adanya kesiapan yang matang
(Rusadi Kantaprawira, 2006: 190).
Kondisi
Sosial-Ekonomi
Pada masa
Demokrasi Parlementer juga sering terjadi pergantian kabinet pada masa pra
pemilu tahun 1955, dimana kabinet tidak dapat bertahan lebih dari delapan
bulan, sehingga menghambat perkembangan ekonomi dan politik. Hal ini
dikarenakan pemerintah tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya
(Miriam Budiardjo, 2008: 129).
Memang pada
saat itu ada beberapa kebijakan di bidang ekonomi yang dibuat, akan tetapi
tidak berjalan maksimal, salah satu contohnya seperti sistem ekonomi Ali-Baba
pada saat kabinet Ali Sastroamijoyo. Kebijakan sistem ekonomi Ali-Baba (kabinet
Ali Sastroamijoyo I) yang diprakarsai Mr Iskak Cokrohadisuryo, yaitu
penggalangan kerjasama antara pengusaha cina dan pengusaha pribumi. Pengusaha
non-pribumi diwajibkan memberikan latihan-latihan pada pengusaha pribumi, dan
pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional
(Heri Kristanto, Jurnal Ekonomi, 2003).
Kebijakan
ini berasal dari rakyat, input nya pun sangat demokratis, akan tetapi program
ini tidak berjalan dengan baik, karena pengusaha pribumi kurang berpengalaman,
sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah.
Feedback yang diberikan oleh masyarakat pun juga tidak memadai untuk
dilaksanakan karena terlalu cepatnya pergantian kabinet dan setiap kabinet yang
ada mempunyai tujuan utama yang berbada pula. Sehingga feedback nya
tidak dapat diapresiasi oleh pemerintah. Sehingga pertumbuhan ekonomi yang
diharapkan tidak tercapai malah sebaliknya para pengusaha asing yang diuntungkan
dengan adanya kebijakan tersebut.
Budaya
Politik
Budaya
politik yang berkembang pada era Demokrasi Parlementer beragam. Dengan
tingginya partisipasi massa dalam menyalurkan tuntutan mereka, menimbulkan
anggapan bahwa seluruh lapisan masyarakat telah berbudaya politik partisipan.
Anggapan bahwa rakyat mengenal hak-haknya dan dapat melaksanakan kewajibannya
menyebabkan tumbuhnya deviasi penilaian terhadap peristiwa-peristiwa politik
yang timbul ketika itu (Rusadi Kantaprawira, 2006: 191). Percobaan kudeta dan
pemberontakan, di mana dibelakangnya sedikit banyak tergambar adanya
keterlibatan /keikutsertaan rakyat, dapat diberi arti bahwa kelompok rakyat
yang bersangkutan memang telah sadar, atau mereka hanya terbawa-bawa oleh
pola-pola aliran yang ada ketika itu.
Para elite Indonesia yang disebut penghimpun
solidaritas (solidarity maker) lebih nampak dalam periode demokrasi
parlementer ini. Walaupun demikian, waktu itu terlihat pula munculnya
kabinet-kabinet yang terbentuk dalam suasana keselang-selingan pergantian
kepemimpinan yang mana kelompok adminitrators memegang peranan.
Kulminasi krisis politik akibat pertentangan antar-elite mulai terjadi sejak
terbentuknya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan PRRI pada tahun 1958 (Rusadi
Kantaprawira, 2006: 190). Selain itu, dengan gaya politik yang ideologis pada
masing-masing partai politik menyebabkan tumbuhnya budaya paternalistik. Adanya
ikatan dengan kekuatan-kekuatan politik yang berbeda secara ideologis
mengakibatkan fungsi aparatur negara yang semestinya melayani kepentingan umum
tanpa pengecualian, menjadi cenderung melayani kepentingan golongan menurut
ikatan primordial. Selain itu, orientasi pragmatis juga senantiasa mengiringi
budaya poltik pada era ini
0 komentar:
Posting Komentar