Jumat, 21 November 2014

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI

// // Leave a Comment

DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI
Oleh : Bayu Pramutoko,SE,MM
A. Sejarah Demokrasi
Sistem Demokrasi dikenal sejak zaman Yunani kuno abad 6 s/d 1 SM. Sistem demokrasi yang berlaku pada waktu itu adalah demokrasi langsung dengan suatu majelis yang terdiri atas 5000-6000 orang. Istilah demokrasi juga berasal dari bahasa Yunani, vaitu demos yang artinya rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sayangnya yang dianggap rakyat pada jaman Yunani kuno (Athena) berbeda dengan apa yang mungkin kita pahami sekarang ini. Pada waktu itu demokrasi hanya berlaku bagi orang laki-laki kota yang resmi dan lahir secara bebas, sedangkan budak, wanita, pedagang asing, dan pendatang tidak diikutkan. Setiap orang kota resmi mempunyai hak yang sama untuk mengambil bagian secara pribadi dalam diskusi-diskusi dan pemberian suara di lembaga perwakilan yang membahas masalah-masalah hukum, dan berbagai kebijakan yang menyangkut kehidupan komunitas. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menjalankan hukum-hukum serta kebijakan-kebijakan itu melalui pelayanan yuridis dan keanggotaan lembaga pemerintah. Sejak itu kualifikasi kekayaan sebagai syarat untuk menduduki jabatan publik dihapuskan. Sistem yang berlaku di Athena saat itu dapat dikatakan demokratis dibandingkan sistem lain yang ada pada waktu itu, akan tetapi kelembagaan klasik itu dapat dikatakan kurang demokratis, karena hak suara masih dibatasi.

Gagasan demokrasi itu sempat hilang dan muncul kembali Pada tahun 1215 dalam peristiwa Magna Charta. Demokrasi modern muncul di Daratan Eropa setelah Zaman Renaissanse antara tahun 1350-1600. Pada tahun 1700-an muncul teori trias politika. kemudian muncul pula kebenaran umum, bahwa sesungguhnya hak politik manusia yang meliputi hak hidup, hak kebebasan,hak milik {life, liberty, and property). Pada tanggal 4 Juli 1776 kemerdekaan Amerika Serikat (AS) dideklarasikan, sejak itu pula dinobatkan dirinya sebagai Champion of democracy (juara demokrasi) dan guardian of democracy (pengawal demokrasi). Sejak itu pula AS mendengungkan tekadnya untuk menegakkan pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia. Tekad tersebut dipertegas dengan dikeluarkannya Doktrin Carter (1980) yang berusaha mengaitkan masalah penegakan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri AS terhadap negara lain. AS bahkan tidak segan-segan menjatuhkan sangsi politik, ekonomi, maupun militer kepada negara-negara yang dianggap tidak menghormati hak-hak manusia (Jatmika, 2000:1). Beberapa tindakan yang telah diambil AS terhadap negara-negara atau kelompok yang dianggap tidak-demokratis antara lain: kelompok Sandinista (Nicaragua), Jenderal Noreiga (Panama), Khmer Merah (Kamboja), Khadafi (Lybia) Iran (-1980). Irak (1991 dan 2003),  Indonesia (1997) yang melarang pengusaha dari negara bagian Massachusets berdagang dengan Indonesia dalam bentuk undang-undang di House a/Representative dan lain-lain.
Barulah pada abad XIX muncul gagasan demokrasi dalam wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik berdasarkan azas kemerdekaan individu. Pada abab ke-20, bentuk penyelenggaraan demokrasi berubah dari pola klasik (urusan kepentingan politik bersama) menjadi pola negara kesejahteraan, di mana negara dianggap bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat dengan cara berupaya secara aktif meningkatkan taraf hidup warga negaranya (Beetham & Boyle, 1995: 25-27; Syarbaini, 2002: 90).
Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Tle Third Ware: Democratization in The Late Twentieth Century” menyebut masa 1974-1990-an adalah sebagai gelombang demokrasi ketiga. Pada masa ini gelombang demokrasi berhembus ke seluruh dunia dalam bentuk transisi politik yang dialami sekitar tiga puluh negeri dari sistem politik nondemokratis ke sistem demokratis.
Selanjutnya Syarbaini menjelaskan bahwa di Indonesia, sejak awal kemerdekaan telah menyatakan dirinya demokrasi, dandalam perjalanannya terlihat perkembangan demokrasi sebagai berikut. Pertama, demokrasi parlemener (1945-1959) yang menonjolkan parlemen dan partai politik. Pelaksanaan demokrasi ini ditandai oleh pemerintahan yang kurang stabil. Kedua, demokrasi terpimpin (1959-1965) yang menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menonjolkan aspek demokrasi rakyat serta dominasi presiden. Ketetapan MPRS No III/1963 yangmengangkat presiden seumur hidup semakin memberikan peluang untuk melakukan penyimpangan dan penumpukan kekuasaan tangannya.  Ketiga, demokrasi Pancasila (1965-1998) menjadikan Pancasila sebagai landasan ideal dan UUD 1945, ketetapan MPR sebagai landasan formal, untuk meluruskan dan mengoreksi penyimpangan demokrasi sebelumnya. Pada masa ini juga tidak lepas dari kelemahan, mengingat demokrasi hanya sebagai lipstik bagi tumbuh suburnya otoritarianisme birokrasi dan KKN /korupsi-kolusi-dan Nepotisme). Pada waktu itu juga peran militer sangat dominan, sentralisasi pembuatan keputusan, penggebiran partai-partai politik, massa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga non-pemerintah.   Keempat, transisi demokrasi yang berusaha menerapkan konsep-konsep demokrasi secara murni, yaitu keterbukaan sistem poiitik, budaya politik partisipatif egalitarian, kepemimpinan politik yang bersemangat kerakyatan, semangat menghapus KKN, partai politik yang tumbuh dari bawah, menjunjung tinggi norma-hukum, kebebasan pers, terdapat mekanisme check and balances.
B. Konsep Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem yang didambakan oleh hampir setiap insan politik. Hampir tidak ada satu rezim pun di dunia ini baik di negara-negara kapitalis maupun komunis, maju maupun berkembang, timur maupun barat, utara maupun selatan, yang enggan mencantumkan, baik eksplisit maupun implisit, kata ‘demokrasi’ pada sistem politik yang dianut negaranya (Jatmika, 2000: v).
Demokrasi adalah suatu istilah yang bersifat universal, namun tidak ada satu sistem demokrasi yang berlaku untuk semua bangsa atau semua negara. Secara istilah mungkin sama, akan tetapi isi dan cara perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lainnya. Secara haraviah, demokrasi adalah Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat (Sartori, 1962: 5). Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana hak-hak untuk membuat keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap warga negara yang diaktualisasikan melalui prosedur Pemerintahan mayoritas, yang biasa dikenal dengan sebutan Dmokrasi langsung.
Dalam pandangan struktural demokrasi adalah sistem politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus (Alfian,1978: 236; Surbakti, 1999:228). Oleh karena itu, menurut Ramlan  demokrasi  memungkinkan  perbedaan  pendapat persaingan, dan pertentangan di antara individu, di antara berbagai kelompok, di antara individu dan kelompok, individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi demokrasi hanya akan mentolerir konflik yang tidak menghancurkan sistem. Oleh sebab itu, sistem politik demokrasi menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai pada ‘penyelesaian’ dalam bentuk kesepakatan. Prinsip ini pula yang mendasari pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan legitimasi kewenangan, dan hubungan politik dengan ekonomi.
Demokrasi juga dijelaskan sebagai bentuk pemerintahan dengan segenap kegiatan yang dikelola dengan menjadikan rakyat sebagai subyek dan titik tumpu. Selain itu, demokrasi juga dapat diartikan sebagai sistem pemerintahan yang bertumpu pada daulat rakyat bukan daulat pemimpin, daulat pemerintah, atau daulat raja. Dalam penjelasan yang lain, demokrasi dapat pula diartikan sebagai bentuk pemerintahan di mana warga negara menggunakan hak yang sama tidak secara pribadi tetapi melalui wakil yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
Melihat batasan di atas, tidak salah apabila demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan kata lain, rakyat selaku mayoritas mempunyai suara   menentukan  dalam  proses  perumusan  kebijakan pemerintahan melalui saluran-saluran yang tersedia seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan pendapat umum.
Sebuah sistem demokratis dicirikan: (1) partisipasi politik yang luas, (2) kompetisi politik yang sehat, (3) sirkulasi kekuasaan yang terjaga, terkelola, dan berkala, melalui proses pemilihanumum, (4) pengawasan terhadap kekuasaan yang efektif,(5) diakuinya kehendak mayoritas, dan (6) adanya. tata-krama politikyang disepakati dalam masyarakat (Sartori, 196?.). Melihat berbagai ciri itu, maka kekuasaan pemerintahan ferbatas dan tidak  dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya Pembatasan ini tercantum dalam konstitusi.
Sementara itu Robert Dahl (1973: 7), mengemukakan bahwa ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga di negaranya. Adapun beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain: (1) kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi, (2) kebebasan mengemukakan pendapat, (4) hak memilih dalam pemilihan umum, hak menduduki jabatan publik, (5) hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara, (6) tersedianya sumber informasi alternatif, (7) Pemilu yang bebas dan jujur, dan (8) adanya lembaga-lembaga penjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum dan cara-cara penyampaian preferensi yang lain.
Prinsip-prinsip dasar demokrasi meliputi persamaan, hormat terhadap nilai-nilai luhur manusia, hormat terhadap hak-hak sipil, dan kebebasaan, serta fair play. Makna persamaan di sini adalah persamaan kesempatan bagi semua orang sebagai warga negara untuk mencapai perkembangan yang maksimum mengenai potensi-potensi fisik, intelektual, moral, spiritual, dan partisipasi sosial oleh setiap pribadi. Berdasarkan prinsip dasar itu dapat dirumuskan ciri-ciri hakiki demokrasi, yaitu: (1) adanya persetujuan rakyat, (2) adanya partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik yang menyangkut nasib mereka, (3) adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum, (4) adanya kebebasan individu untuk menentukan diri, (5) adanya penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, (6) adanya pembagian pendapatan yang adil, (7) adanya mekanisme kontrol sosial terhadap pemerintah, dan (8) adanya ketersediaan dan keterbukaan informasi.(Sudarminta, 1996: 69; Maran, 2001:206).
Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji  dan dimaknai dengan cara pendekatan yang berbeda. Pertama kali muncul adalah pendekatan klasik normatif yang lebih membicarakan ide-ide dan model-model demokrasi secara substansial. Pendekatan konvensional minimalis cenderung dibatasi makna demokrasi sebagai sistem politik yang berbeda dengan sistem ekonomi dan sosial. Satu argumen bagi definisi terbatas semacam itu adalah bahwa jika isu-isu tentang demokrasi ekonomi  dan sosial dimasukkan, maka konsep demokrasi akan menjadi begitu luas, dan realitas empiris yang sesuai dengan teori ini akan menjadi sempit sehingga menyulitkan untuk menpelajari dan mengkaji fenomena yang ada (Sartori, 1962: 5).
Para pemikir lain lebih menyukai definisi demokrasi yang maksimalis dengan memasukkan dimensi nonpolitik (sosial budaya dan ekonomi) kebebasan sebagai obsssi demokrasi tidak hanya di bidang politik, tetapi juga sosial, ekonomi dan budava juga bebas dari ketidakadilan, kemiskinan, kelaparan, kebodohan Para pemikirnya seperti Rosseu, John Stuart Mill, hingga Marx sepakat bahwa ketimpangan ekonomi merupakan kendala bagi pertumbuhan politik yang demokratis (Uhlin, 1995: 54)
Baik definisi demokrasi yang minimalis maupun maksirnalis keduanya ada benarnya. Mengingat banyak penafsiran yang berbeda tentang demokrasi. Pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh di hadapan ilmuwan politik ketika studi demokrasi berkembang sejak akhir dekade 1970-an. Arend Lijphart (1980) menggagas model demokrasi konsosional yang ia rekomendasikan sebagai model demokrasi terbaik.
Demokrasi merupakan cita-cita, meskipun ia diciptakan tetapi menurut Plato demokrasi tidak diinginkan. Bahkan Robert Michels berpendapat bahwa demokrasi itu disenangi, tetapi sulit untuk dilaksanakan (Dahl, 1991). Di sisi lain, tatanan masyarakat yang tertinggi tercapai manakala masyarakat itu telah menerapkan demokrasi  dalam  setiap  kegiatan  kelompoknya.  Joseph Schumpeter dalam teori demokrasinya mengatakan bahwa demokrasi adalah kompetisi bebas antara elite politik untuk menduduki suatu pemerintahan (Rose, 2000) Model demokrasi seperti itu disebutnya sebagai “Schumpeter’s model of Democracy. Lain lagi Lijphart dalam “theory consencus democracy” mengatakan bahwa demokrasi merupakan kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk membuat keputusan. Lijphar membuat varian demokrasi antara lain liberal democracy, free democracy, sosialdemocracy, cristian democracy. Alexis de Tocqueville da a mendefinisikan demokrasi dengan   memperkenalkan konsep  , “nature democracy” dan “advance democracy”. Sedangkan smithmembedakan istilah demokrasi menjadi dua yaitu traditional democracy dan modem democracy (Smith, 1998).
Untuk konteks Indonesia, Anders Uhlin termasuk ilmuwan yang mengkaji demokrasi dengan pendekatan normatif dan sekaligus empirik. Dia melacak difusi ide-ide demokrasi diIndonesia sejak 1980-an dan memetakan wacana demokrasi yang bervariasi di kalangan pejuang demokrasi (Uhlin, 1995′ 45)
C. Transisi Menuju Demokrasi
Arus utama teoritisasi transisi menuju demokrasi dimulai pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas dasar runtuhnya rezim otoritarian-totalitarian yang tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika Latin. Berbagai karya perintis terutama buah karya suntingan Guillerno O ‘Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, sering menjadi pusat rujukan bagi studi demokrasi, tetapi tidak punya kekuatan komparatif untuk menjelaskan gelombang tansisi demokrasi yang problematik dari rezim neopatrimonial yang eksis di berbagai negara seperti Filipina, Zaire, Haiti, Rusia dan juga Indonesia.
Transisi dari rezim otoriter dimulai dari perpaduan antara perpecahan elite maupun bangkitnya masyarakat sipil dan opoisi yang memungkinkan transisi berjalan. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi (transplacement) antara kubu garis keras dan kubu garis lunak yang beraliansi dengan barisan oposisi dan masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah yang membuahkan transisi yang mulus dan sempurna dari rezim otorirer korporatif sehingga sangat mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi berikutnya.
Menurut Samuel Huntington (1991:44), demokratisasi pada tingkatan yang sederhana mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter, (2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3) konsolidasi. Jika mengikuti Robert A. Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian (hegemoni tertutup) yang tidak memberi kesempatan pada partisipasi dan liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan partisipasi dan liberasasi Usasi yang lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara menurut Lipset (1963)
Terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan pertambahan masyarakat terdidik.  la beralasan, dengan masyarakat yang telah sejahtera secara ekonomi dan semakin tingginya tingkat pendidikan akan semakin terbuka mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan semakin terbukanya  kesempatan untuk ikut berpartisipasi dala menentukan keputusan yang penting, yang menyangkut kepentingan publik. Argumen yang sama tetapi dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh Moore (1996) Kalau Lipset lebih bertumpu pada paradigma modernisasi, yang menyetujui lahirnya masyarakat kapitalis, sedangkan Moore, lebih bertumpu pada perubahan cara produksi feodolis ke cara produksi kapitalis.
Sedangkan menurut O’Donnell, Schmitte”, dan Whitehead (kelompok sarjana-sarjana kiri) yang memfokuskan studi di Amerika Latin, beranggapan bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang dengan kapitalisme barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekan partisipasi massa dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptakan stabilitas politik ini adalah negara. di bawah komando militer. Oleh karena itu menurut O’Donnell pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong demokrasi, di mana peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa disingkirkan dari proses politik. O’Donnell menyebut fenomena ini sebagai Bureaucratic autliontarianism.
Kritik terhadap Bureaucratic authoritarinnism telah banyak dilakukan, termasuk oleh R. William Liddle dan Saiful Mujani (2000:56), thesis O’Donnell ini dibangun atas dasar pilihan atas kasus (case selection) secara selektif sehingga bias. O’Donnell tidak menghiraukan pembangunan ekonomi di negara-negara “si Timu.- seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Hongkong padatahun 80-an. Mereka melakukan demokratisasi di negaranyadengan bertumpu pada ekonomi pasar termasuk di Asia Tenggara negera-negara Bekas Uni Soviet, dan Eropa Timur.
Menurut Liddle dan Mujani setelah O’Donnel mengetahui bahwa argumen Bureaucratic aiitlioritariaiiism tidak realistik, penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk menjelaskan variasi muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa, munculnya rezim demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa dijelaskan. Elit dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi tetapi kapan elit menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa dijelaskan. Konsep ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran Kiri. Elit melakukan pro demokrasi karena mereka menggunakan rational choice theory (Almond , 1990:117).
Menurut pendekatan ini elit ini, diasumsikan bahwa transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim demokrasi sebagian besar ditentukan oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elit politik. Pilihan atas demokrasi dipandang memupgkinkan elit mencapai tujuan politiknya. Motif dan kalkulasi elit seperti ini tentu saja akan ditemukan dikalangan elit politik pada umumnya
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga (O’Donnell & Philippe Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan uiberikannya ruang kebebasan pers.
Ada dua catatan yang bisa diajukan terhadap O’Donnell khususnya pada proses sebelum memasuki tahap transisi. Dia tidak melakukan elaborasi yang menyeluruh mengenai tahap decomposing politics sebelum tahap liberalisasi.
Tahap lain selain liberalisasi adalah transisi, yaitu titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung demokrasi. Pada tahapini ditandai dengan adanya pemilu. Dalam konteks Indonesia tidak partai perubahan format politik baru yang secara diametral berubah dari format masa sebelumnya.
Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses negosiasi. Pada fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap kader-kadernva; medi massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembaga-lembaga swadaya masyarakat perlu mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara mandiri terlepas pada pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus. Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang mungkin tidak pernah mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari   sistem   politik   itu   sendiri,   misalnya   persaingan memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik sebagai sebuah pertandingan di mana para pemenanglah yang menguasai semua hadiah.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan umum yang bebas dan adil, pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak politis dan sipil , dan suatu masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani (Beetham & Boyle, 1995: 57-58).
Apabila digambarkan dalam bentuk alur, akan nampak urut-urutan sebagai berikut:
Gambar 10.1 Alur perkembangan demokrasi
Sumber: Disarikan dari berbagai bacaan terutarna Huntington,1991.
Jika transisi hanya menghasilkan otoritarian baru, maka Konsolidasi yang terjadi adalah pemantapan rezim otoriter baru. sebaliknya, jika yang dihasilkan transisi adalah instalati demokrasi maka rezim demokrasi yang baru itu akan dikonsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Di dalamnya diwarnai proses negosiasi. Transisi hendak mempromosikan sistem baru ketimbang merusak sistem lama.
Transisi adalah tahapan awal terpenting yang sangat menentukan dalam proses demokrasi. Sebagian besar kajian para ilmuwan difokuskan pada transisi menuju demokrasi itu. Dalam transisi pasti terjadi liberalisasi yang mungkin akan diakhiri dengan instalasi demokrasi.
Dalam transisi di setiap negara terjadi lewat beberapa tahap atau rute yang berbeda. Dalam transisi di setiap negara terjadi lewat beberapa tahap atau rute yang berbeda. Samuel. Huntington (1991) berpendapat, ada empat jalur transisi demokrasi: pertnuin, transformasi yang diprakarsai dari atas oleh rezim seperti Taiwan, Mexico, India, Chile, Turki, Brazil, Peru, Ekuador, Guetamala, Norwegia, Pakistan serta Sudan. Kediia, transisi lewat trnnsplncenient atau negosiasi antara rezim yang berkuasa dengan oposisi seperti Nepal, Nikaraguae, Mongolia, Brazilia, Salvador, Korea Selatan, Afrika Selatan. Ketiga, replacement atau pergantian atau tekanan oposisi dari bawah yang meliputi Pilipina, Argentina. Dan keempat, interfensi dari luar yang meliputi Grenada dan Panama.

Menurut Donald Share (1987:19) ada empat jalur proses transisi demokrasi menurut kecepatan serta keterlibatan pimpinan rezim, yaitu (1) demokrasi secara bertahap, melibatkan rezim secara konsensual, (2) transaksi secara cepat, melibatkan rezim secara konsensual, (3) transisi lewat perjuangan revolusioner gradual nonkonseksual, dan (4) transisi lewat perpecahan (revolusi, kudeta, keruntuhan, ektriksi) yang berlangsung cepat tanpa melibatkan konsensual.

0 komentar:

Posting Komentar