DEMOKRASI DAN DEMOKRATISASI
Oleh : Bayu Pramutoko,SE,MM
A. Sejarah Demokrasi
Sistem Demokrasi dikenal sejak zaman Yunani kuno abad
6 s/d 1 SM. Sistem demokrasi yang berlaku pada waktu itu adalah demokrasi
langsung dengan suatu majelis yang terdiri atas 5000-6000 orang. Istilah
demokrasi juga berasal dari bahasa Yunani, vaitu demos yang artinya
rakyat, dan kratos yang artinya pemerintahan. Sayangnya yang dianggap
rakyat pada jaman Yunani kuno (Athena) berbeda dengan apa yang mungkin kita
pahami sekarang ini. Pada waktu itu demokrasi hanya berlaku bagi orang
laki-laki kota yang resmi dan lahir secara bebas, sedangkan budak, wanita,
pedagang asing, dan pendatang tidak diikutkan. Setiap orang kota resmi
mempunyai hak yang sama untuk mengambil bagian secara pribadi dalam
diskusi-diskusi dan pemberian suara di lembaga perwakilan yang membahas
masalah-masalah hukum, dan berbagai kebijakan yang menyangkut kehidupan
komunitas. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam menjalankan
hukum-hukum serta kebijakan-kebijakan itu melalui pelayanan yuridis dan
keanggotaan lembaga pemerintah. Sejak itu kualifikasi kekayaan sebagai syarat
untuk menduduki jabatan publik dihapuskan. Sistem yang berlaku di Athena saat
itu dapat dikatakan demokratis dibandingkan sistem lain yang ada pada waktu
itu, akan tetapi kelembagaan klasik itu dapat dikatakan kurang demokratis,
karena hak suara masih dibatasi.
Gagasan demokrasi itu sempat hilang dan muncul kembali
Pada tahun 1215 dalam peristiwa Magna Charta. Demokrasi modern muncul di
Daratan Eropa setelah Zaman Renaissanse antara tahun 1350-1600. Pada
tahun 1700-an muncul teori trias politika. kemudian muncul pula kebenaran umum,
bahwa sesungguhnya hak politik manusia yang meliputi hak hidup, hak
kebebasan,hak milik {life, liberty, and property). Pada tanggal 4 Juli
1776 kemerdekaan Amerika Serikat (AS) dideklarasikan, sejak itu pula dinobatkan
dirinya sebagai Champion of democracy (juara demokrasi) dan guardian
of democracy (pengawal demokrasi). Sejak itu pula AS mendengungkan tekadnya
untuk menegakkan pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia. Tekad tersebut
dipertegas dengan dikeluarkannya Doktrin Carter (1980) yang berusaha mengaitkan
masalah penegakan hak asasi manusia dalam kebijakan luar negeri AS terhadap
negara lain. AS bahkan tidak segan-segan menjatuhkan sangsi politik, ekonomi,
maupun militer kepada negara-negara yang dianggap tidak menghormati hak-hak
manusia (Jatmika, 2000:1). Beberapa tindakan yang telah diambil AS terhadap
negara-negara atau kelompok yang dianggap tidak-demokratis antara lain:
kelompok Sandinista (Nicaragua), Jenderal Noreiga (Panama), Khmer Merah
(Kamboja), Khadafi (Lybia) Iran (-1980). Irak (1991 dan 2003), Indonesia
(1997) yang melarang pengusaha dari negara bagian Massachusets berdagang dengan
Indonesia dalam bentuk undang-undang di House a/Representative dan
lain-lain.
Barulah pada abad XIX muncul gagasan demokrasi dalam
wujud yang konkrit sebagai program dan sistem politik berdasarkan azas
kemerdekaan individu. Pada abab ke-20, bentuk penyelenggaraan demokrasi berubah
dari pola klasik (urusan kepentingan politik bersama) menjadi pola negara
kesejahteraan, di mana negara dianggap bertanggung jawab atas kesejahteraan
rakyat dengan cara berupaya secara aktif meningkatkan taraf hidup warga
negaranya (Beetham & Boyle, 1995: 25-27; Syarbaini, 2002: 90).
Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul “Tle
Third Ware: Democratization in The Late Twentieth Century” menyebut masa
1974-1990-an adalah sebagai gelombang demokrasi ketiga. Pada masa ini gelombang
demokrasi berhembus ke seluruh dunia dalam bentuk transisi politik yang dialami
sekitar tiga puluh negeri dari sistem politik nondemokratis ke sistem
demokratis.
Selanjutnya Syarbaini menjelaskan bahwa di Indonesia,
sejak awal kemerdekaan telah menyatakan dirinya demokrasi, dandalam
perjalanannya terlihat perkembangan demokrasi sebagai berikut. Pertama,
demokrasi parlemener (1945-1959) yang menonjolkan parlemen dan partai politik.
Pelaksanaan demokrasi ini ditandai oleh pemerintahan yang kurang stabil. Kedua,
demokrasi terpimpin (1959-1965) yang menyimpang dari demokrasi
konstitusional dan lebih menonjolkan aspek demokrasi rakyat serta dominasi
presiden. Ketetapan MPRS No III/1963 yangmengangkat presiden seumur hidup
semakin memberikan peluang untuk melakukan penyimpangan dan penumpukan
kekuasaan tangannya. Ketiga, demokrasi Pancasila (1965-1998)
menjadikan Pancasila sebagai landasan ideal dan UUD 1945, ketetapan MPR sebagai
landasan formal, untuk meluruskan dan mengoreksi penyimpangan demokrasi
sebelumnya. Pada masa ini juga tidak lepas dari kelemahan, mengingat demokrasi
hanya sebagai lipstik bagi tumbuh suburnya otoritarianisme birokrasi dan KKN
/korupsi-kolusi-dan Nepotisme). Pada waktu itu juga peran militer sangat
dominan, sentralisasi pembuatan keputusan, penggebiran partai-partai politik,
massa mengambang, monolitisasi ideologi negara, dan inkorporasi lembaga
non-pemerintah. Keempat, transisi demokrasi yang berusaha
menerapkan konsep-konsep demokrasi secara murni, yaitu keterbukaan sistem
poiitik, budaya politik partisipatif egalitarian, kepemimpinan politik yang
bersemangat kerakyatan, semangat menghapus KKN, partai politik yang tumbuh dari
bawah, menjunjung tinggi norma-hukum, kebebasan pers, terdapat mekanisme check
and balances.
B. Konsep Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem yang didambakan oleh hampir
setiap insan politik. Hampir tidak ada satu rezim pun di dunia ini baik di
negara-negara kapitalis maupun komunis, maju maupun berkembang, timur maupun
barat, utara maupun selatan, yang enggan mencantumkan, baik eksplisit maupun
implisit, kata ‘demokrasi’ pada sistem politik yang dianut negaranya (Jatmika,
2000: v).
Demokrasi adalah suatu istilah yang bersifat
universal, namun tidak ada satu sistem demokrasi yang berlaku untuk semua
bangsa atau semua negara. Secara istilah mungkin sama, akan tetapi isi dan cara
perwujudannya bisa berbeda-beda antara negara yang satu dengan yang lainnya.
Secara haraviah, demokrasi adalah Pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat
(Sartori, 1962: 5). Demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana hak-hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik digunakan secara langsung oleh setiap warga
negara yang diaktualisasikan melalui prosedur Pemerintahan mayoritas, yang
biasa dikenal dengan sebutan Dmokrasi langsung.
Dalam pandangan struktural demokrasi adalah sistem
politik yang memelihara keseimbangan antara konflik dan konsensus (Alfian,1978:
236; Surbakti, 1999:228). Oleh karena itu, menurut Ramlan demokrasi
memungkinkan perbedaan pendapat persaingan, dan pertentangan di
antara individu, di antara berbagai kelompok, di antara individu dan kelompok,
individu dan pemerintah, kelompok dan pemerintah, bahkan di antara
lembaga-lembaga pemerintah. Akan tetapi demokrasi hanya akan mentolerir konflik
yang tidak menghancurkan sistem. Oleh sebab itu, sistem politik demokrasi
menyediakan mekanisme dan prosedur yang mengatur dan menyalurkan konflik sampai
pada ‘penyelesaian’ dalam bentuk kesepakatan. Prinsip ini pula yang mendasari
pembentukan identitas bersama, hubungan kekuasaan legitimasi kewenangan, dan
hubungan politik dengan ekonomi.
Demokrasi juga dijelaskan sebagai bentuk pemerintahan
dengan segenap kegiatan yang dikelola dengan menjadikan rakyat sebagai subyek
dan titik tumpu. Selain itu, demokrasi juga dapat diartikan sebagai sistem
pemerintahan yang bertumpu pada daulat rakyat bukan daulat pemimpin, daulat
pemerintah, atau daulat raja. Dalam penjelasan yang lain, demokrasi dapat pula
diartikan sebagai bentuk pemerintahan di mana warga negara menggunakan hak yang
sama tidak secara pribadi tetapi melalui wakil yang duduk di lembaga perwakilan
rakyat.
Melihat batasan di atas, tidak salah apabila demokrasi
diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dengan kata lain, rakyat selaku mayoritas mempunyai suara
menentukan dalam proses perumusan kebijakan
pemerintahan melalui saluran-saluran yang tersedia seperti partai politik,
kelompok kepentingan, kelompok penekan, dan pendapat umum.
Sebuah sistem demokratis dicirikan: (1) partisipasi
politik yang luas, (2) kompetisi politik yang sehat, (3) sirkulasi kekuasaan
yang terjaga, terkelola, dan berkala, melalui proses pemilihanumum, (4)
pengawasan terhadap kekuasaan yang efektif,(5) diakuinya kehendak mayoritas,
dan (6) adanya. tata-krama politikyang disepakati dalam masyarakat (Sartori,
196?.). Melihat berbagai ciri itu, maka kekuasaan pemerintahan ferbatas dan
tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya Pembatasan
ini tercantum dalam konstitusi.
Sementara itu Robert Dahl (1973: 7), mengemukakan
bahwa ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus
terhadap preferensi atau keinginan warga di negaranya. Adapun beberapa syarat
yang harus dipenuhi antara lain: (1) kebebasan membentuk dan bergabung dalam
organisasi, (2) kebebasan mengemukakan pendapat, (4) hak memilih dalam
pemilihan umum, hak menduduki jabatan publik, (5) hak para pemimpin untuk
bersaing memperoleh dukungan dan suara, (6) tersedianya sumber informasi
alternatif, (7) Pemilu yang bebas dan jujur, dan (8) adanya lembaga-lembaga
penjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum dan
cara-cara penyampaian preferensi yang lain.
Prinsip-prinsip dasar demokrasi meliputi persamaan,
hormat terhadap nilai-nilai luhur manusia, hormat terhadap hak-hak sipil, dan
kebebasaan, serta fair play. Makna persamaan di sini adalah persamaan
kesempatan bagi semua orang sebagai warga negara untuk mencapai perkembangan
yang maksimum mengenai potensi-potensi fisik, intelektual, moral, spiritual,
dan partisipasi sosial oleh setiap pribadi. Berdasarkan prinsip dasar itu dapat
dirumuskan ciri-ciri hakiki demokrasi, yaitu: (1) adanya persetujuan rakyat,
(2) adanya partisipasi efektif rakyat dalam pembuatan keputusan politik yang
menyangkut nasib mereka, (3) adanya persamaan kedudukan di hadapan hukum, (4)
adanya kebebasan individu untuk menentukan diri, (5) adanya penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia, (6) adanya pembagian pendapatan yang adil, (7)
adanya mekanisme kontrol sosial terhadap pemerintah, dan (8) adanya
ketersediaan dan keterbukaan informasi.(Sudarminta, 1996: 69; Maran, 2001:206).
Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi
dikaji dan dimaknai dengan cara pendekatan yang berbeda. Pertama kali
muncul adalah pendekatan klasik normatif yang lebih membicarakan ide-ide dan
model-model demokrasi secara substansial. Pendekatan konvensional minimalis
cenderung dibatasi makna demokrasi sebagai sistem politik yang berbeda dengan
sistem ekonomi dan sosial. Satu argumen bagi definisi terbatas semacam itu
adalah bahwa jika isu-isu tentang demokrasi ekonomi dan sosial
dimasukkan, maka konsep demokrasi akan menjadi begitu luas, dan realitas
empiris yang sesuai dengan teori ini akan menjadi sempit sehingga menyulitkan
untuk menpelajari dan mengkaji fenomena yang ada (Sartori, 1962: 5).
Para pemikir lain lebih menyukai definisi demokrasi
yang maksimalis dengan memasukkan dimensi nonpolitik (sosial budaya dan
ekonomi) kebebasan sebagai obsssi demokrasi tidak hanya di bidang politik,
tetapi juga sosial, ekonomi dan budava juga bebas dari ketidakadilan,
kemiskinan, kelaparan, kebodohan Para pemikirnya seperti Rosseu, John Stuart
Mill, hingga Marx sepakat bahwa ketimpangan ekonomi merupakan kendala bagi
pertumbuhan politik yang demokratis (Uhlin, 1995: 54)
Baik definisi demokrasi yang minimalis maupun
maksirnalis keduanya ada benarnya. Mengingat banyak penafsiran yang berbeda
tentang demokrasi. Pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh di
hadapan ilmuwan politik ketika studi demokrasi berkembang sejak akhir dekade
1970-an. Arend Lijphart (1980) menggagas model demokrasi konsosional yang ia
rekomendasikan sebagai model demokrasi terbaik.
Demokrasi merupakan cita-cita, meskipun ia diciptakan
tetapi menurut Plato demokrasi tidak diinginkan. Bahkan Robert Michels
berpendapat bahwa demokrasi itu disenangi, tetapi sulit untuk dilaksanakan
(Dahl, 1991). Di sisi lain, tatanan masyarakat yang tertinggi tercapai manakala
masyarakat itu telah menerapkan demokrasi dalam setiap
kegiatan kelompoknya. Joseph Schumpeter dalam teori demokrasinya
mengatakan bahwa demokrasi adalah kompetisi bebas antara elite politik untuk
menduduki suatu pemerintahan (Rose, 2000) Model demokrasi seperti itu
disebutnya sebagai “Schumpeter’s model of Democracy. Lain lagi Lijphart
dalam “theory consencus democracy” mengatakan bahwa demokrasi merupakan
kesepakatan antara dua pihak atau lebih untuk membuat keputusan. Lijphar
membuat varian demokrasi antara lain liberal democracy, free democracy,
sosialdemocracy, cristian democracy. Alexis de Tocqueville da a
mendefinisikan demokrasi dengan memperkenalkan konsep , “nature
democracy” dan “advance democracy”. Sedangkan smithmembedakan
istilah demokrasi menjadi dua yaitu traditional democracy dan modem
democracy (Smith, 1998).
Untuk konteks Indonesia, Anders Uhlin termasuk ilmuwan
yang mengkaji demokrasi dengan pendekatan normatif dan sekaligus empirik. Dia
melacak difusi ide-ide demokrasi diIndonesia sejak 1980-an dan memetakan wacana
demokrasi yang bervariasi di kalangan pejuang demokrasi (Uhlin, 1995′ 45)
C. Transisi Menuju Demokrasi
Arus utama teoritisasi transisi menuju demokrasi
dimulai pada dekade 1980-an. Secara mencolok dibangun atas dasar runtuhnya
rezim otoritarian-totalitarian yang tumbuh di kawasan Eropa Selatan dan Amerika
Latin. Berbagai karya perintis terutama buah karya suntingan Guillerno O
‘Donnel, Philippe Schmitter dan Laurence Whitehead, sering menjadi pusat
rujukan bagi studi demokrasi, tetapi tidak punya kekuatan komparatif untuk
menjelaskan gelombang tansisi demokrasi yang problematik dari rezim
neopatrimonial yang eksis di berbagai negara seperti Filipina, Zaire, Haiti,
Rusia dan juga Indonesia.
Transisi dari rezim otoriter dimulai dari perpaduan
antara perpecahan elite maupun bangkitnya masyarakat sipil dan opoisi yang
memungkinkan transisi berjalan. Transformasi dari atas atau lewat negosiasi (transplacement)
antara kubu garis keras dan kubu garis lunak yang beraliansi dengan barisan
oposisi dan masyarakat sipil. Permulaan jalur-jalur negosiasi itulah yang
membuahkan transisi yang mulus dan sempurna dari rezim otorirer korporatif
sehingga sangat mempermudah tugas-tugas konsolidasi demokrasi berikutnya.
Menurut Samuel Huntington (1991:44), demokratisasi
pada tingkatan yang sederhana mencakup (1) berakhirnya sebuah rezim otoriter,
(2) dibangunnya sebuah rezim demokrasi, (3) konsolidasi. Jika mengikuti Robert
A. Dahl (1991:54), demokratisasi berarti Proses perubahan rezim otoritarian
(hegemoni tertutup) yang tidak memberi kesempatan pada partisipasi dan
liberalisasi menuju poliarki yang memberi derajat kesempatan partisipasi dan
liberasasi Usasi yang lebih tinggi. Transisi demokrasi pada suatu negara
menurut Lipset (1963)
Terjadi apabila terjadi pertumbuhan ekonomi dan
pertambahan masyarakat terdidik. la beralasan, dengan masyarakat yang
telah sejahtera secara ekonomi dan semakin tingginya tingkat pendidikan akan
semakin terbuka mekanisme pengambilan keputusan untuk urusan-urusan publik, dan
semakin terbukanya kesempatan untuk ikut berpartisipasi dala menentukan
keputusan yang penting, yang menyangkut kepentingan publik. Argumen yang sama
tetapi dengan perspektif dan metode yang berbeda juga diungkapkan oleh Moore
(1996) Kalau Lipset lebih bertumpu pada paradigma modernisasi, yang
menyetujui lahirnya masyarakat kapitalis, sedangkan Moore, lebih bertumpu pada
perubahan cara produksi feodolis ke cara produksi kapitalis.
Sedangkan menurut O’Donnell, Schmitte”, dan Whitehead
(kelompok sarjana-sarjana kiri) yang memfokuskan studi di Amerika Latin,
beranggapan bahwa pembangunan di negara-negara terbelakang dengan kapitalisme
barat mensyaratkan adanya stabilitas politik dengan menekan partisipasi massa
dalam politik untuk mengamankan pembangunan ekonomi dan modal kapitalis
mancanegara. Agen yang paling memungkinkan untuk menciptakan stabilitas politik
ini adalah negara. di bawah komando militer. Oleh karena itu menurut O’Donnell
pembangunan di negara-negara terbelakang bukannya mendorong demokrasi, di mana
peran negara menjadi begitu sentral, sementara massa disingkirkan dari proses
politik. O’Donnell menyebut fenomena ini sebagai Bureaucratic
autliontarianism.
Kritik terhadap Bureaucratic authoritarinnism
telah banyak dilakukan, termasuk oleh R. William Liddle dan Saiful Mujani
(2000:56), thesis O’Donnell ini dibangun atas dasar pilihan atas kasus (case
selection) secara selektif sehingga bias. O’Donnell tidak menghiraukan
pembangunan ekonomi di negara-negara “si Timu.- seperti Jepang, Korea Selatan,
Taiwan, dan Hongkong padatahun 80-an. Mereka melakukan demokratisasi di
negaranyadengan bertumpu pada ekonomi pasar termasuk di Asia Tenggara
negera-negara Bekas Uni Soviet, dan Eropa Timur.
Menurut Liddle dan Mujani setelah O’Donnel mengetahui
bahwa argumen Bureaucratic aiitlioritariaiiism tidak realistik,
penghujung tahun 80-an beralih ke pendakatan elite untuk menjelaskan variasi
muncul dan stabilnya demokrasi. Mereka berkesimpulan bahwa, munculnya rezim
demokasi adalah suatu “kebetulan” sejarah yang tidak bisa dijelaskan. Elit
dinilai penting dalarn proses transisi ke rezim demokrasi tetapi kapan elit
menjadi pro demokrasi dan kapan tidak, menurutnya tidak bisa dijelaskan. Konsep
ini juga telah dikritik oleh Prezeworski dan Lunongi, yang datang juga dari lingkaran
Kiri. Elit melakukan pro demokrasi karena mereka menggunakan rational choice
theory (Almond , 1990:117).
Menurut pendekatan ini elit ini, diasumsikan bahwa
transisi jadi rezim nondemokrasi ke rezim demokrasi sebagian besar ditentukan
oleh inisiatif, kompromi, dan kalkulasi rasional elit politik. Pilihan atas
demokrasi dipandang memupgkinkan elit mencapai tujuan politiknya. Motif dan
kalkulasi elit seperti ini tentu saja akan ditemukan dikalangan elit politik
pada umumnya
Secara urut demokratisasi mencakup beberapa proses
atau tahapan yang saling berkaitan, yaitu: liberalisasi, transisi, instalasi
dan konsolidasi. Liberalisasi adalah proses mengefektifkan hak-hak politik yang
melindungi individu dan kelompok sosial dari tindakan sewenang-wenang atau tidak
sah yang dilakukan oleh negara atau pihak ketiga (O’Donnell & Philippe
Schimitter, 1986). Pada tahap ini biasanya ditandai kekuasaan untuk membuka
peluang terjadinya kompetisi politik, dilepaskannya tahanan politik, dan
uiberikannya ruang kebebasan pers.
Ada dua catatan yang bisa diajukan terhadap O’Donnell
khususnya pada proses sebelum memasuki tahap transisi. Dia tidak melakukan
elaborasi yang menyeluruh mengenai tahap decomposing politics sebelum
tahap liberalisasi.
Tahap lain selain liberalisasi adalah transisi, yaitu
titik awal atau interval (selang waktu) antara rezim otoritarian dengan rezim
demokrasi. Transisi diawali dengan keruntuhan rezim otoriter lama yang kemudian
diikuti dengan pengesahan lembaga politik peraturan politik baru di bawah payung
demokrasi. Pada tahapini ditandai dengan adanya pemilu. Dalam konteks Indonesia
tidak partai perubahan format politik baru yang secara diametral berubah dari
format masa sebelumnya.
Setelah transisi yaitu konsolidasi. Proses konsolidasi
jauh lebih komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang
mengurangi kemungkinan pembalikan demokrasi. Didalamnya diwarnai proses
negosiasi. Pada fase ini partai politik perlu melakukan pelatihan terhadap
kader-kadernva; medi massa, asosiasi-asosiasi perdagangan; lembaga-lembaga
swadaya masyarakat perlu mengembangkan kapasitasnya untuk bertindak secara
mandiri terlepas pada pengaruh negara dan ‘payung’ negara. Pada tahap ini
sering juga disebut sebagai tahap kampanye yang digerakkan pada dua front sekaligus.
Di satu pihak adalah perjuangan melawan kekuatan-kekuatan anti-demokratis yang
mungkin tidak pernah mau mengalah. Di pihak lain adalah perjuangan menampung
unsur-unsur yang bersifat memecah belah dari sistem
politik itu sendiri, misalnya persaingan
memperebutkan jabatan di pemerintahan dan godaan untuk memperlakukan politik
sebagai sebuah pertandingan di mana para pemenanglah yang menguasai semua
hadiah.
Minimal ada empat komponen atau pilar utama dari
demokrasi yang sedang berjalan, yaitu pemilihan umum yang bebas dan adil,
pemerintahan yang bertanggung jawab, hak-hak politis dan sipil , dan suatu
masyarakat yang demokratis atau masyarakat Madani (Beetham & Boyle, 1995:
57-58).
Apabila digambarkan dalam bentuk alur, akan nampak
urut-urutan sebagai berikut:
Gambar 10.1 Alur perkembangan demokrasi
Sumber: Disarikan dari berbagai bacaan terutarna
Huntington,1991.
Jika transisi hanya menghasilkan otoritarian baru,
maka Konsolidasi yang terjadi adalah pemantapan rezim otoriter baru.
sebaliknya, jika yang dihasilkan transisi adalah instalati demokrasi maka rezim
demokrasi yang baru itu akan dikonsolidasi. Proses konsolidasi jauh lebih
komplek dan panjang dibandingkan transisi. la merupakan proses yang mengurangi
kemungkinan pembalikan demokrasi. Di dalamnya diwarnai proses negosiasi.
Transisi hendak mempromosikan sistem baru ketimbang merusak sistem lama.
Transisi adalah tahapan awal terpenting yang sangat
menentukan dalam proses demokrasi. Sebagian besar kajian para ilmuwan
difokuskan pada transisi menuju demokrasi itu. Dalam transisi pasti terjadi
liberalisasi yang mungkin akan diakhiri dengan instalasi demokrasi.
Dalam transisi di setiap negara terjadi lewat beberapa
tahap atau rute yang berbeda. Dalam transisi di setiap negara terjadi lewat
beberapa tahap atau rute yang berbeda. Samuel. Huntington (1991) berpendapat,
ada empat jalur transisi demokrasi: pertnuin, transformasi yang
diprakarsai dari atas oleh rezim seperti Taiwan, Mexico, India, Chile, Turki,
Brazil, Peru, Ekuador, Guetamala, Norwegia, Pakistan serta Sudan. Kediia,
transisi lewat trnnsplncenient atau negosiasi antara rezim yang berkuasa
dengan oposisi seperti Nepal, Nikaraguae, Mongolia, Brazilia, Salvador, Korea
Selatan, Afrika Selatan. Ketiga, replacement atau pergantian atau
tekanan oposisi dari bawah yang meliputi Pilipina, Argentina. Dan keempat,
interfensi dari luar yang meliputi Grenada dan Panama.
Menurut Donald Share (1987:19) ada empat jalur proses
transisi demokrasi menurut kecepatan serta keterlibatan pimpinan rezim, yaitu
(1) demokrasi secara bertahap, melibatkan rezim secara konsensual, (2)
transaksi secara cepat, melibatkan rezim secara konsensual, (3) transisi lewat
perjuangan revolusioner gradual nonkonseksual, dan (4) transisi lewat
perpecahan (revolusi, kudeta, keruntuhan, ektriksi) yang berlangsung cepat
tanpa melibatkan konsensual.
0 komentar:
Posting Komentar