Oleh : Bayu Pramutoko,SE,MM
Makna Sosial
Manusia adalah makhluk sosial yang dapat bergaul
dengan dirinya sendiri, menafsirkan makna-makna obyek-obyek di alam
kesadarannya dan memutuskannya bagaimana ia bertindak secara berarti sesuai
dengan penafsiran itu. Bahkan seseorang melakukan sesuatu karena peran
sosialnya atau karena kelas sosialnya atau karena sejarah hidupnya. Tingkah
laku manusia memiliki aspek-aspek pokok penting sebagai berikut :
(1) Manusia selalu bertindak sesuai dengan
makna barang-barang (semua yang ditemui dan dialami, semua unsur kehidupan di
dunia ini);
(2) Makna dari suatu barang itu selalu
timbul dari hasil interaksi di antara orang seorang;
(3) Manusia selalu menafsirkan makna
barang-barang tersebut sebelum ia biasa bertindak sesuai dengan makna barang-barang
tersebut.
Atas dasar aspek-aspek pokok tersebut di atas,
interaksi manusia bukan hasil sebab-sebab dari luar. Hubungan interaksi manusia
memberikan bentuk pada tingkah laku dalam kehidupannya sehari-hari, bergaul
saling mempengaruhi. Mempertimbangkan tindakan orang lain perlu sekali, bila
mau
membentuk tindakan sendiri(Schlegel,1977: 5).
Blumer dalam premisnya menyebutkan bahwa manusia
bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang berasal dari interaksi
sosial seseorang dengan orang lain dan disempurnakan pada saat proses interaksi
sosial berlangsung (Poloma, 1992 : 261). Makna dari sesuatu berasal
cara-cara orang atau aktor bertindak terhadap sesuatu dengan memilih,
memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformasikan situasi di mana dia
ditempatkan dan arah tindakannya.
Interaksi Sosial
Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan interaksi
sosial secara definitif. Interaksi sosial ( Social Interaction )
secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu proses dimana seseorang
bertindak dan bereaksi antara yang satu dengan yang lainnya ( Smelser, 1984 :
89 ). Pengertian lain dari Bonner seperti dikutip Gerungan ( 1986 : 57 ) yang
mengartikan interaksi sosial sebagai hubungan antara dua atau lebih individu
manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau
memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya.sedang Gillin dan
Gillin seperti dikutip Soekanto ( 1986 : 51 ) mengartikan interaksi sosial
sebagai hubungan – hubungan yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang
– perorangan, antara kelompok – kelompok manusia, maupun antara orang –
perorangan dengan kelompok manusia.
Sebagai suatu aktivitas yang melibatkan pihak lain dan
sekaligus sebagai kebutuhan fondamental bagi manusia sebagai makhluk sosial,
maka dalam proses interaksi tersebut manusia yang di satu sisi mempunyai
karakter individualitas dan sosialitas di sisi lainnya melebur menjadi satu
entitas sosial. Di sini manusia seperti diungkap dalam analisis sosiologisnya
Berger ( 191 : 3 –5) terlibat dalam proses dialektis yang mewujudkan dalam tiga
momentum atau tiga langkah fundamental, yaitu eksternalisasi, objektifasi, dan
internalisasi. Dalam momentum eksternalisasi, manusia mencurahkan dirinya
secara terus menerus kedalam dunia baik dalam bentuk kegiatan fisik maupun
mental. Objektifasi merupakan hasil dari kegiatan fisik dan mental, yang
kemudian tampak dihadapan pembuatnya sebagai aktifitas lahiriah yang lain dari
keadaan aslinya. Internalisasi adalah pengambilan kembali realitas yang sama,
mengubahnya sekali lagi dari struktur dunia objektif ke struktur dunia
kesadaran. Melalui eksternalisasi masyarakat merupakan produk manusia. Melalui
objektifasi masyarakat menjadi suatu realitas ideologis, unik. Dan melalui
internalisasi maka manusia merupakan produk masyarakat.
Proses interaksi sosial pun tidak muncul secara tiba –
tiba, tetapi secara psiko – sosial mempengaruhi dan dipengaruhi oleh banyak
faktor dan muncul dalam berbagai bentuk, karena itu yang perlu diketahui lebih
jauh dalam proses interaksi sosial ini adalah
(1) Faktor – faktor terjadinya interaksi sosial:
(2) Pola atau bentuk interaksi sosial yang
berlangsung.
Menurut Soekanto ( 1986 :
52 – 53 ) dan Gerungan (1986 : 58 – 59) berlangsungnya
interaksi sosial karena didorong oleh beberapa faktor, yaitu imitasi, sugesti,
simpati dan identifikasi. Imitasi adalah proses meniru apa yang dimiliki oleh
orang lain menjadi miliknya sendiri. Imitasi dapat berlangsung dalam bentuk
seperti cara berbahasa, bertingkah laku tertentu, cara memberi hormat, mode,
adat–istiadat dan tradisi lainnya. Imitasi berlangsung apabila seseorang
menaruh minat atau perhatian yang cukup besar dan adanya sikap menyanjung atau
mengagumi sesuatu yang ditiru. Sugesti adalah proses dimana seorang individu
menerima penglihatan atau pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik
terlebih dahulu. Sugesti terjadi karena yang bersangkutan mengalami hambatan
berpikir, dalam keadaan bingung dan keadaan memandang orang lain lebih tinggi,
karena kebanyakan orang telah terlibat (terpengaruh mayoritas), dan karena
pandangan yang disampaikan telah menjadi keinginannya. Simpati merupakan
perasaan tertariknya seseorang terhadap orang lain. Simpati timbul bukan atas
dasar logis rasional, tetapi semata – mata tertarik dengan sendirinya, dan
tertarik tidak karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena keseluruhan
cara bertingkah laku seseorang. Identifikasi adalah dorongan untuk menjadi
identik (sama) dengan seseorang. Identifikasi dilakukan orang terhadap orang
lain yang dianggap ideal dalam satu segi, untuk memperoleh sistem norma, sikap
dan nilai–nilainya yang dianggap ideal dan masih mengandung kekurangan bagi
dirinya.
Terjadinya interaksi sosial yang didorong oleh empat
faktor tersebut, tidak dapat dilepaskan juga dari adanya jarak sosial para
pelaku interaksi (Susanto, 1989). Konsep jarak sosial ini pertama kali
digunakan oleh Bogardus sebagai teknik mengukur tingkat penerimaan dan
penolakan terhadap kelompok lain (Horton & Horton, 1982 : 32). Dalam
konteks interaksi sosial, jarak sosial memberikan pengaruh yang cukup besar.
Semakin dekat jarak sosial yang ada, semakin tinggi intensitas interaksi yang
dilakukan, demikian juga sebaliknya. Apabila individu lebih jauh dengan yang
lainnya, maka kana terdapat tanda akan goyahnya hubungan–hubungan sosial yang
harmonis.
Pada hakekatnya manusia memiliki sifat sebagai makhluk
individual, makhluk sosial dan makhluk berketuhanan (Santoso, 1983 : 13).
Manusia dalam sifat-sifatnya sebagai makhluk sosial menjalin hubungan
sosial antar sesamanya, dengan kelompok lainnya dala kehidupannya. Dengan kata
lain setiap individu menjalin interaksi sosial sesamanya didalam kelompok
lainnya. Interaksi sosial dapat dipengaruhi oleh aspek-aspek, faktor-faktor
yang akan menentukan berhasil tidaknya interaksi sosiall berlangsung.
Aspek-aspek interaksi sosial tersebut antara lain :
(1) Adanya hubungan antara individu
dalam hubungan kelompok;
(2) Tampilnya individu-individu
melaksanakan hubungan;
(3) Mempunyai tujuan tertentu;
(4) Adanya hubungan dengan struktur
dan fungsi kelompok yang terjadi karena individu dalam hidupnya tidak terpisah
dan memiliki fungsi di dalam kelompoknya.
Sedangkan factor-faktor yang berpengaruh dalam
interaksi sosial adalah sebagai berikut :
(1)
Situasi sosial, memberi bentuk tingkah laku individu;
(2)
Kekuasaan norma-norma kelompok;
(3)
Tujuan kepribadian, mempengaruhi tingkah lakunya;
(4)
Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya bersifat
sementara;
(5)
Setiap situasi mengandung arti dan mempengaruhi individu untuk melihat dan
menafsirkan situasi (Santoso, 1983 : 16).
Dalam prakteknya, interaksi sosial merealisasikan ke
dalam banyak pola. Dalam masyarakat yang ditandai dengan kemajemukan agama,
yang relevan diungkap adalah dua pola yang sudah berkembang secara umum, yaitu
integrasi dan konflik. Dalam pengertian secara umum konflik dapat diartikan
sebagai pertentangan yang bersifat langsung dan disadari antara individu–
ndividu dan kelompok – kelompok untuk mencapai tujuan yang sama. Sedangkan
integrasi mengandung pengertian sebagai penyatuan kelompok–kelompok yang
tadinya terpisah satu sama lain dengan melenyapkan perbedaan–perbedaan sosial
dan kebudayaan yang ada sebelumnya (Saifuddin, 1986 : 7).
Dalam kaitannya dengan kehidupan agama, integrasi
diartikan sebagai bentuk kerja sama antara dua kelompok agama atau lebih dalam
kesatuan sosial masyarakat. Sedangkan konflik adalah bentuk sengketa yang
terjadi antara dua kelompok atau lebih umat beragama, yang disebabkan oleh
prasangka–prasangka tertentu apa yang bermula dari
doktrin agama atau sebab–sebab lain (Abdurrahman, 1982
: 142). Terjadi integrasi sosial dan konflik sosial dalam masyarakat yang
majemuk dalam kehidupan agama, dapat ditelusuri dari faktor–faktor interaksi
sosial yang telah dijelaskan di atas.
Perubahan Sosial
Setiap masyarakat pasti mengalami perubahan-perubahan
sesuai dengan dimensi ruang dan waktu. Perubahan itu bias dalam arti sempit ,
luas, cepat atau lambat. Perubahan dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan
proses terus-menerus untuk menuju masyarakat maju atau berkembang baik perubahan
sosial maupun perubahan kebudayaan.
Berbeda halnya apa yang dikemukakan oleh Moore
dalam karya Lauer, perubahan sosial didefinisikan sebagai perubahan penting
dalam struktur sosial (Lauer, 1989 : 4). Yang dimaksud struktur sosial
adalah pola-pola perilaku dan interaksi sosial. Perubahan sosial mencakup
seluruh aspek kehidupan sosial, karena seluruh aspek kehidupan sosial itu terus
menerus berubah, hanya tingkat perubahannya yang berbeda.
Himes dan More (dalam Soelaiman, 1998 : 115-121)
mengemukakan tiga dimensi perubahan sosial :
(1)
Dimensi structural dari perubahan sosial mengacu kepada perubahan dalam bentuk
struktur masyarakat menyangkut perubahan peran, munculnya peranan baru,
perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial;
(2)
Perubahan sosial dalam dimensi cultural mengacu kepada perubahan kebudayaan
dalam masyarakat seperti adanya penemuan dalam berpikir (ilmu pengetahuan),
pembaharuan hasil teknologi, kontak dengan kebudayaan lain yang menyebabkan
terjadinya difusi dan peminjaman kebudayaan;
(3)
Perubahan sosial dalam dimensi interaksional mengacu kepada perubahan hubungan
sosial dalam masyarakat yang berkenaan dengan perubahan dalam frekuensi, jarak
sosial, saluran, aturan-aturan atau pola-pola dan bentuk hubungan.
Teologi
Profetik dalam perubahan sosial.
Bergesernya paradigma (shifting paradigm) teologia religoonom
menyebabkan adanya mata rantai yang terputus peran dan fungsi teologi
agama-agama yang dibawa para nabinya. Peran dan fungsi teologia
religoonom agama-agama adalah membawa para pemeluknya pada kedamaian,
kesejahteraan, keadilan dan egalitarianisme. Semenjak lahirnya peradaban
modern, ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai pioneer terkemuka,
maka rasionalisme-empirisme menjadi pisau analisa yang begitu dominan dan
mencapai puncaknya pada positivisme, sehingga perkembangan ilmu
pengetahuan disertai dengan penemuan ilmiah berkembang pesat. Ini karena
filsafat modern menekankan pada anthroposentris dengan kebebasan manusia
berkreativitas untuk menentukan hidupnya tidak tergantung pada kekuatan
supernatural (Tuhan) sebagaimana pada abad pertengahan yang teosentris.
Akhirnya paradigma teologis yang telah menjadi fundamental keimanan umat
beragama mengalami semacam gugatan dan mencapai puncaknya dalam filsafat ilmu
pada abad ke 19 – 20. Dengan positivisme, ukuran kebenaran adalah sesuai dengan
apa yang bisa diverifikasi dan sesuai dengan fakta-fakta yang bisa
diukur. Sesuatu yang tidak sesuai dengan paradigma Positivisme dianggapnya
tidak benar, termasuk agama, metafisika maupun etika.Bergesernya paradigma ini
membuat teologi religoonom agama-agama menjadi kehilangan élan vital
ajarannya yang menyebabkan mandul dalam berkreasi dan menciptakan dialog-dialog
dengan situasi social, ekonomi, politik maupun budaya masyarakat pemeluknya.
Peran élan vital teologia religoonom pada akhirnya diambil oleh
ideologi-ideologi kiri yang dalam hal ini adalah sosialisme.
Sosialisme mencapai puncak perjuangannya dalam membawa misi profetis
ketika disuarakan Karl Marx. Akhirnya para pemeluk agama melirik pada ideologi
sosialisme sebagai ideologi perjuangannya. Sosialisme-Marxis merupakan doktrin
sosialisme yang paling dominan dan dijadikan pijakan fundamental dalam
menganalisa suatu perubahan dunia menuju masyarakat egalitarianisme, hilangnya
segala eksploitasi dan penindasan atas manusia. Perjuangan untuk mencapai
tatanan masyarakat yang adil dan tanpa kelas oleh sosialisme hampir sepenuhnya
dijalankan Marxisme. Pada akhirnya, Sosialisme-Marxis telah menjelma menjadi
suatu ideologi kaum tertindas sebagai landasan perjuangan untuk memprotes
penindasan dan diskriminasi pemilik modal (bahkan negara) terhadap kaum buruh
dalam rangka memperjuangkan kesederajatan dan keadilan distributif, sehingga
kaum buruh tidak dijadikan “sapi perahan” seperti selama ini.
Beberapa tahun terakhir ini, muncul peristiwa yang mengguncang dunia, yaitu
sosialisme khususnya Marxisme sebagai simbol perjuangan kaum tertindas dalam
bentuk gerakan transformasi sosial yang memberikan secercah harapan dan keyakinan
selama kurang lebih satu setengah abad, sudah mulai rapuh dan tidak lagi
progresif. Harapan dan keyakinan Marxis untuk ” mengubah wajah dunia ” telah
kehilangan elan vitalnya, bahkan menjelma sekedar menjadi alat atau metode
analisis sosial sehingga pengaruhnya kian merosot dan didiskreditkan.
Perkembangan selanjutnya, terjadi guncangan yang menampakkan kecenderungan
tersingkirnya sosialisme-marxisme sebagai ideologi kaum tertindas yang
progresif. Sosialime-Marxis mulai ditinggalkan yang tersisa hanya suatu sikap
pragmatis dan dalam berbagai bentuknya saat ini adalah pemborjuisan
(embourgoisment).
Pemborjuisme ini merupakan ciri modernitas yang pada akhirnya mengambil peran
dalam mengubah dunia. Salah satu proyek modernitasnya kaum borjuis dengan
melanggengkan kelasnya adalah imperialisme baru melalui
developmentalisme. Proyek ini menjadi tren untuk menjajah suatu negara
dalam dunia ketiga. Hasil dari proyek tersebut bukan kemakmuran rakyat yang
didapatkan, tetapi eksploitasi terhadap manusia maupun alam dan hanya lebih
menguntungkan kaum pemilik modal sebagai pilar kapitalisme untuk
perlindungan atas negara. Ini merupakan hantaman telak bagi sosialisme yang
menyebabkan banyak negara sosialis ambruk. Sejak itu di negara berkembang (dunia
ketiga) kaum tertindas tidak lebih sekedar obyek kekuasaan (negara) dan
kaum pemilik modal.
Kesenjangan ekonomi dan rendahnya upah buruh merupakan bentuk penindasan baru
sebagai akibat develomentalisme yang dijalankan negara berkembang. Peran negara
terlalu kuat disatu sisi, pada sisi yang lain dalam dunia ketiga dengan
develomentalisme masyarakat tercerahkan sehingga menuntut adanya upaya aksi
emansipatoris terhadap negara (kapital). Sosialisme, pada akhirnya mulai tumbuh
dan diminati sebagai ideologi baru dalam memberikan analisa sosial relitas
terhadap menumbuhkan sikap kritis hampir semua negara dunia ketiga. Sosialisme
mulai diminati sebagai antitesa terhadap kemapanan (status quo) dan dampak
develomentalisme, sebagai salah satu program rasionalisme kapitalisme.
Perjuangan sosialisme untuk mengangkat harkat dan martabatnya manusia
menghadapi penindasan mengalami kegagalan total, karena sosialisme
menjadi ideology kepentingan yang diperjuangkan tanpa melihat local jenius
suatu masyarakat. Melihat kegagalan-kegagalan tersebut, akhirnya masyarakat
pemeluk agama mulai melirik kembali teologia religionomnya sebagai konsep dalam
melakukan gerakan profetik dalam membebaskan manusia dari segala bentuk
diskriminasi, ketertindasan maupun alienasi.
Para pemeluk agama, khususnya para agamawan mulai melakukan redefinisi maupun
reposisi teologinya. Redefisini maupun reposisi teologi terhadap fenomena
social, ekonomi, budaya maupun politik dengan melakukan dialog-dialog
dengan ilmu-ilmu social sesuai dengan dinamika social masyarakatnya.Misi
perjuangan Sosialisme termasuk Marx merupakan perjuangan untuk menciptakan
kesadaran emansipatoris. Kesadaran emansipatoris ini merupakan suatu kekuatan
Sosialisme dan Marxisme dalam melihat realitas masyarakat.
Selama bertahun-tahun sosialisme menjadi menjadi simbol perjuangan kaum
tertindas sebagai bentuk protes atau antitesa kaum Borjuis. Kesadaran sosial
masyarakat merupakan pengaruh sosialisme yang sangat urgen dalam gerakan
pembebasan.Analisis sosial Marx (Sosialisme) merupakan metode paling ampuh
dalam membangun masyarakat egalitarianisme, kesadaran kritis maupun
menghilangkan kesenjangan sosial. Gerakan ini memberikan pengaruh yang besar
terhadap lahirnya “Teologi Pembebasan” di Amerika Latin yang dipelopori oleh
Guiterrez, seorang pendeta dalam dunia Kristen yang selalu gelisah
melihat realitas umatnya yang tertindas oleh kekuasan negara maupun kapitalisme
dan gerakan pembebasan dalam semangat Islam yang di pelopori Hasan Hanafi
dengan jargon “Kiri Islamnya” dan Asghar Ali Engineer dengan paradigma
pemikirannya yang progresif dengan semangat teologi pembebasannya.
Praksis pembebasan dalam agama-agama merupakan gerakan misi baru
Perjuangan kaum beriman melalui teologia religionom dalam membebaskan
masyarakat tertindas dan Egalitarianisme. Itu semua merupakan misi perjuangan
profetis. Dalam sejarah, gerakan profetis (kenabian) merupakan gerakan revolusi
dalam memperjuangkan tatanan sosial kemasyarakatan yang satu tanpa adanya pertentangan
klas, adil dan tidak eksplotatif, sebagaimana pada masyarakat kapitalis yang
oligarki dan oligopoli.Ini dapat kita saksikan dalam sejarah bahwa para nabi
dan rosul merupakan mujaddid revolusioner sejati. Nabi Ibrahim misalnya,
dianggap sebagai simbolisme revolusi akal dalam menundukkan tradisi paganisme.
Nabi Musa mampu merefleksikan revolusi pembebasan kaun Bani Israil yang
tertindas melawan otoritasme dan bentuk kediktatoran Fir’aun. Nabi Isa (Yesus)
pun hadir dengan revolusi spiritualisme atas dominasi materialisme. Bahkan Nabi
Muhammad pun hadir sebagai pembebas kelompok tertindas (budak) atas perilaku
kaum elite Quraisy yang kapitalistik. Melihat seperti tersebut maka solusi
terpenting adalah mengembangkan sosialisme Religius sebagaiman diperjuangkan
para nabi dan rosul.
Para Nabi dan Rasul memperjuangkan bentuk sosialisme
religius dengan penekanan pada moral, spiritual. Sosilisme religius meletakkan
keseimbangan bahwa dalam milik pribadi terdapat hak milik sosial. Disamping
itu, di sini perjuangan keadilan yang humanis tanpa kekerasan atau lebih
dikenal dengan konsep “al-adl wa al-ihsan” (keadilan dan kebajikan) sebagaimana
dilaksanakan oleh para Nabi.
Fenomena di atas, tidaklah mungkin akan terselesaikan jika kaum beragama
(beriman) hanya memandang teologi yang semula dipahami secara klasik sebagai
ilmu yang membicarakan tentang Tuhan kaitannya dengan persoalan-persoalan
eskatologis dan melangit. Teologi klasik sebagaimana dipahami orang beriman
seperti tersebut tidak akan mampu memberikan solusi alternatif bagi umatnya
menghadapi dinamika kehidupan social, ekonomi, politik, budaya dan agama itu
sendiri berhadapan dengan dunia global.
Teologi harus dirubah peran dan fungsinya sesuai dengan dinamika social
menjadi teologi kontekstual, sebuah teologi yang dipahami dan didialogkan
secara dialektis sesuai dengan konteks problematika umatnya dalam berhadapan
dengan dinamika social, ekonomi, budaya maupun politik. Teologi kontekstual
merupakan perkembangan teologi yang lebih bersifat praksis, dimana kaum beriman
melakukan sebuah tindakan yang tidak semata bersifat ukhrowi, tetapi juga
bagaimana kaum beriman dengan teologinya membangun kedamaian, keadilan,
egalitarianisme didunia ini. Dengan kata lain, kaum beriman diharapkan dengan
teologinya membangun kerajaan Tuhan dibumi ini, agar bumi ini penuh dengan
kehidupan surga.
0 komentar:
Posting Komentar